Di tengah kemajuan zaman dan di era digital ini, ada sesuatu yang menyentak perhatian masyarakat. Hari Minggu (5/2) kemarin, Program Studi (Prodi) Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya UNS menggelar acara “Menulis Kaligrafi Aksara dan Huruf Jawa” pada lembaran kertas sepanjang 500 meter.

Image Source: deviantart.net
Acara yang berlangsung di atrium Solo Paragon Mall tersebut digelar dalam rangka menyambut perayaan tahun baru Imlek. Acara yang berlangsung meriah tersebut bahkan berhasil memecahkan rekor MURI kategori menulis kaligrafi aksara Jawa terpanjang.
Kegiatan tersebut melibatkan kalangan pelajar, mahasiswa dan warga se Eks Karesidenan Surakarta. Secara spontan, para pengunjung Solo Paragon Mall pun ikut menorehkan huruf Jawa di lembaran kertas yang telah disediakan.

Image Source: wikimedia.org
Ir Djoko Prananto, penanggung jawab cara, menjelaskan, jenis tulisan yang ditorehkan di atas kertas itu adalah berupa filsafat Jawa dan kata-kata mutiara. Namun bagi masyarakat yang masih awam dengan Bahasa Jawa, Panitia menyediakan tulisan Jawa untuk dikutip menggunakan spidol. Mereka yang ikut menulis mendapatkan piagam sebagai bentuk partisipasi pemecahan rekor penulisan aksara Jawa terpanjang.
Di tengah perkembangan zaman yang terus melaju kencang, acara tersebut memiliki nilai strategis bagi eksistensi bahasa Jawa. Sebagaimana kita tahu, di tengah gempuran budaya asing dan generasi digital, Budaya Jawa seolah-olah menjadi tamu di negeri sendiri. Jangankan tamu di negeri sendiri, tanpa disadari sering kali Bahasa Jawa menjadi tamu di rumah sendiri.

Image Source: wordpress.com
Orang-orang yang lahir sebagai Jawa asli, sekarang ini banyak yang tidak menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa Ibu di rumah. Orang cenderung lebih suka menggunakan bahasa Indonesia, yang konon katanya lebih praktis. Apalagi sudah keputusan pemerintah, bahwa bahasa resmi dalam urusan kedinasan termasuk di sekolah telah ditetapkan bahasa Indonesia. Praktis bahasa daerah, termasuk bahasa Jawa, hanya digunakan secara lokal di daerah masing-masing.
Bahasa Jawa memang memiliki sifat yang sangat kompleks, kaya dan mengandung aturan yang sering kali dianggap sulit. Ada tiga tingkatan dalam bahasa Jawa, yakni bahasa Jawa Ngoko yang digunakan untuk sesama yang sederajat, krama madya digunakan kepada orang yang lebih tua dan krama inggil diperuntukkan bagi orang tua dan dihormati.

Image Source: blogspot.com
Ada pembedaan yang membikin orang kadang bingung. Misalnya, orang muda menggunakan krama inggil kepada orang tua, namun orang tua menggunakan Jawa ngoko kepada yang lebih muda. Namun itulah kekayaan dan keunikan bahasa Jawa.
Kondisi bahasa Jawa yang adiluhung, dari waktu ke waktu memang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Kita tentu tak ingin warisan leluhur itu hilang lantaran terjadi keterputusan generasi penerus bahasa Jawa. Karena itu, apa yang dilakukan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Daerah FIB UNS di atas sangat berarti untuk menancapkan branding bahwa Bahasa Jawa masih ada.

Image Source: blogspot.com
Meskipun bersifat temporer, namun acara tersebut minimal mampu menyentak kesadaran masyarakat bahwa kita masih memiliki bahasa Ibu yang adiluhung. Langkah yang lebih bersifat jangka panjang adalah melalui kurikulum, sebagaimana yang dilakukan selama ini, dengan memasukkan bahasa jawa ke dalam muatan lokal.
Di luar itu, dibutuhkan pula peran orang tua di rumah untuk ikut nguri-uri Bahasa Jawa dengan cara menggunakannya dalam komunikasi
Image Source: kaligrafijawa.com

Image Source: blogspot.com