
Image Source: blogspot.com
Sebagai penyandang disabilitas, Eko Sutiyono tetap berjuang gigih untuk bertahan hidup. Bahkan, meskipun mengalami kelumpuhan sejak usia lima tahun, tak minder. Dirinya terus berkarya menjadi pengukir kayu. Saat tidak da pesanan, Eko menjadi tukang jaga WC Bukit Pandang Ki Santa Mulya Kayen.
SRI PUTJIWATI, Kayen
BEBERAPA karya pahatan kayu ada di tera rumah Eko di Desa Durensawit, Kayen, Pati. Ada beberapa kaligrafi dan tulisan di pintu kayu, hiasan dinding, dan pahatan lainnya dari kayu. Ia mengukir kayu saat memperoleh pesanan. Jika tidak, maka pria 42 tahun ini bekerja menjadi penjaga WC Wisata Bukit Pandang Ki Santa Mulya.

Image Source: senikaligrafijepara.com
Rumahnya sangat sederhana. Bahkan untuk sehari-hari, listrik yang menerangi rumahnya masih numpang tetangga. Ia hanya membayar uang sekedarnya setiap bulan. Sementara itu, di belakang tempat duduknya, ada alat bantu jalan berupa tongkat yang membantu aktifitasnya sehari-hari. Ya, Eko merupakan disabilitas yang telah mengalami kelumpuhan sejak usia lima tahun. Waktu itu, ceritanya, sakit dan diberikan suntikan oleh dokter.
Bukannya sembuh, namun ayah dari satu anak ini mengalami kelumpuhan pada kaki sebelah kanan. Sejak kecil, ia hidup dalam keadaan susah berjalan. Sempat minder, namun dirinya dapat keluar dari rasa minder dan tetap berjuang untuk maju. Dengan tongkat pemberian kakaknya, ia perlahan jalan.
Pada 1994, saat itu dirinya sudah berusia 22 tahun dititipkan keluarganya di salah satu yayasan penyandang disabilitas di Jongjakarta. Di Yayasan tersebut, eko belajar banyak hal tentang kemandirian, keterampilan dan ketahanan mental meskipun dalam keterbatasan fisiknya.
“Selama setahun di yayasan penyandang disabilitas, saya mendapatkan beberapa keterampilan. Lalu pulang ke Pati. Karena keterampilan yang saya kuasai tidak banyak, maka 1996 saya ikut kursus mengukir kayu di Jepara,” katanya.

Image Source: ukirjepara.com
Bakat yang dimiliki dari kursus mengukir itu yang kini dimanfaatkan dengan baik. Ia menerima banyak pesanan ukiran dari banyak orang di luar desanya hingga di sekitar Pati. Paling banyak, dirinya mendapatkan pesanan ukir dari warga setempat.
“Hingga kini untuk menyambung kehiduan anak dan istri, saya masih menerima pesanan ukir. Para tetangga biasanya juga memesan ukir. Kayu yang saya gunakan adalah dari pohon jati, karena lebih mudah untuk dipahat. Satu ukiran kecil saya patok Rp 200 ribu saja. Kalau ukirannya besar dan njelimet harganya lebih mahal lagi,” tuturnya.
Eko mengaku, tak setiap hari mendapatkan pesanan. Jika tidak ada pesanan, dirinya menjaga WC di Wisata Bukit Pandang Ki Santa Mulya di desanya. Bahkan, ia sempat merantau ke Jakarta dan Sumatera untuk menjual pembersih kaca dan kemoceng. Namun kembali lagi mengukir di rumahnya.
“Selain kadang sepi peminat, ia masih menemui kendala minimnya peralatan mengukir. Salah satunya belum mempunyai mesin bubut. Mau membeli alat tapi terkendala uang. Listrik saja masih numpang tetangga. Semoga, ada bantuan dari pemerintah,” harapnya.

Image Source: senikaligrafijepara.com
(ks/him/top/JPR)
Konsep Unik Tarik Perhatian Penonton
Fosil Stegodon Mulai Dibuatkan Replika

Image Source: ukirjati.com