Nero, Stalin, dan Bin Laden, semuanya pengagum puisi. Apa yang membuat mereka tertarik? Benjamin Ramm coba mengulik kaitan antara sifat bengis dan perasa.

Image Source: wordpress.com

Image Source: blogspot.com

Image Source: wordpress.com
Puisi adalah seni yang lembut, atau dengan kata lain membutuhkan selera yang halus dan perasaan yang peka pula. Ini tentu bertolak belakang dengan perilaku yang brutal, apalagi sampai ditempelkan dengan penguasa tiran dan menyebutnya seni favorit mereka. Tapi itulah kenyataannya, dari zaman dahulu sampai sudah modern seperti sekarang, banyak diktator yang sangat terinspirasi menulis puisi – guna mencari ketenangan, keintiman, dan membuat dirinya merasa berjaya. Dari sajak-sajak mereka kita bisa mempelajari sifat-sifat dasar seorang penguasa, daya pikat dari puisi, dan matinya interpretasi seni.
Gaya dari seorang penyair tiran ada di diri penguasa Roma, Nero (37-68 SM). Sosoknya yang kosong dan suka mengasihani diri sendiri, senang pamer, dan selama dia berkekuasaan sikapnya memalukan – ini adalah cerminan dari pribadi Nero yang sesungguhnya miskin selera seni.
Penulis sejarah tentang Nero, yakni Tatcitus dan Suetonius, mengatakan bahwa Roma begitu tersiksanya semasa berada di bawah kekuasan Nero. Sama tersiksanya dengan membaca puisi-puisi Nero. Ya, mengejek Nero memang memuaskan, tetapi di sisi lain ada pertanyaan yang menggantung: seandainya karya seni para penguasa ini diakui oleh orang banyak, mungkinkah kejahatan mereka bisa diredam?
Sebaliknya, mampukah kita menilai kualitas puisi-puisi yang ditulis oleh seorang penguasa yang kejam?
Seperti yang disampaikan akademisi Ulrich Gotter dalam terbitan paling baru Tyrants Writing Poetry, yang membandingkan antara dua kaisar yang juga penyair yakni Kaisar Caesar dan Kaisar Agustus, di zaman Nero di naik ke kekuasaan ”tanpa pertumpahan darah”.
Tapi walaupun kurang berambisi di bidang militer, Nero dikenal sekali sebagai pendendam dan sosok penguasa bengis yang menyedihkan, dengan kostum panggung jelek, menandatangani penaklukan Troya padahal kekaisarannya sedang terbakar habis-habis. Suetonius menyebut Nero sebagai sosok ‘orang yang senang dengan keindahan di balik nyala api.”
Nero senang tampil: di Roma dia ikut meresmikan festival yang terinspirasi dari budaya Yunani, Neronia. Sepanjang tur Yunani dia berpartisipasi dalam kompetisi puisi, lagu, dan lomba bermain kecapi. Termasuk juga balapan kereta kuda. (Di Olimpia, ia jatuh dari kereta kudanya tapi masih juga ditetapkan sebagai pemenang oleh dewan juri penjilat dan yang ketakutan). Nero ngotot supaya patung pemenang terdahulu disingkarkan dari alasnya, dan dia membawa pulang 1.808 hadiah ke Roma.
Ini menggambarkan penyair itu sebagai megalomania dan suka memaksakan dunia dengan khayalan dalam imajinasinya. Ini yang kemudian menginspirasi seniman seperti Marquis de Sade dan penulis peraih Nobel Henryk Sienkiewicz yang novel Quo Vadis-nya pada tahun 1896 menjadi film berwarna ikonis dibintangi oleh Peter Ustinov. Nero bahkan menyiapkan juga koreografi untuk penampilan finalnya – gantung diri dan mencabut nyawanya sendiri. Dia latihan dan berulang kali mengulang kalimat

Image Source: wordpress.com